Korban Kecelakaan Kok Direkam dan Difoto, Tidak Punya Hati?

By-|

Instagram

Jalanan Aspal
Jalanan Aspal (Canva)

Setiap kali berkendara kemudian mendapati aspal jalan terdapat corat-coretan pilox putih berbentuk tubuh manusia terkapar, hampir semua orang pasti akan sedih. Sedih lantaran tahu bahwa kemarin atau beberapa hari sebelumnya ada keluarga yang kehilangan putra, putri, ayah, ibu, suami, atau istri karena kecelakaan di jalan tersebut. Telah lama saya memandang berkendara di jalan itu tak ubahnya berjuang di medan perang, dimana tak jarang membuat nyawa melayang. Maka itu, doa sebelum perjalanan itu sungguh tak bisa disepelekan begitu saja, jangan sampai dalam perjalanan kita lupa untuk berdoa.

Namun begitu, di mata saya, pada setiap musibah kecelakaan ada yang lebih kejam dibanding sang jalanan itu sendiri. Mereka yang kejamnya melampaui batas itu adalah para warga atau orang yang kebetulan melintas di lokasi kecelakaan, lalu mendadak jadi fotografer dan videografer dengan ponselnya. Mereka tak pandang bulu korban kecelakaan itu putra atau putri siapa, ayah atau ibu siapa, suami atau istri siapa. Mereka terus saja memotret dan merekam korban yang sudah tak bernyawa atau saat menghadapi sakratulmautnya. Para fotografer dan videografer dadakan ini jumlahnya kadang tak hanya satu dua, tapi banyak sekali.

Mereka bak wartawan perang yang tetap “dingin” melihat genangan darah. Seperti paparazzi juga yang berlomba mendapatkan foto terbaik serta tercepat dalam mempublikasikannya. Foto dan video yang masuk kategori disturbing media itu kemudian diunggah ke media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter dll. Kadang disebar pula melalui layanan pesan instan seperti WhatsApp atau WhatsApp Group (WAG). Sama seperti saat mengabadikan musibah-musibah tersebut, ketika mengunggah pun mereka cuek pada fakta bahwa tidak semua orang nyaman melihat konten-konten disturbing semacam itu.

Lebih memprihatinkan lagi, bagaimana bila tanpa sengaja konten tersebut sampai pada salah satu atau beberapa anggota keluarga korban? Di mata saya, ini kekejaman yang melampaui batas, seperti tak punya hati mereka. Siapa orang yang mau musibah duka atau kepergian salah satu anggota keluarga jadi konsumsi publik sebagai konten-konten disturbing media. Ucapan duka atau belasungkawa saja kadang rawan salah-salah kata yang tanpa sengaja sedikit menyakiti perasaan keluarga korban. lha ini kok para fotografer dan videografer dadakan itu seperti mengiris-iris hati mereka yang ditinggalkan.

Peringatan Foto Sensitif di IG dan FB
Peringatan Foto Sensitif di IG dan FB (dok. pribadi)

Baca juga:

Beberapa platform media sosial seperti Facebook dan Instagram sebenarnnya sudah memiliki fitur atau teknologi untuk mengenali konten-konten disturbing semacam korban kecelakaan. Fitur tersebut bisa mencegah seseorang tanpa sengaja menonton foto korban kecelakaan. Ingin rasanya melihat teknologi serupa segera ditanamkan di ponsel-ponsel pintar, sehingga bisa mencegah orang-orang untuk produksi konten seperti itu. Jadi serupa dengan kebijakan beberapa produsen smartphone yang tidak menghadirkan fitur mute camera shutter di beberapa negara terkait privasi. Dengan kata lain, filter/block sudah terjadi pada saat produksi, bukan ketika sudah diunggah ke media sosial.

Apa yang sebenarnya membuat orang bisa bertindak sekejam para fotografer dan videografer dadakan spesialis kecelakaan itu? Kepuasan dan kebanggaan seperti apa yang mereka cari atau inginkan dengan mengabadikan momen duka orang lain kemudian mempublikasikannya? Saya tidak bisa memahami jalan pikiran mereka. Setiap mendapati kerumunan di jalan yang kemungkinan besar adalah kecelakaan, saya sendiri biasanya hanya sekadar bertanya “ada apa?” atau “korban bagaimana?” pada salah satu orang di situ. Kemudian langsung melanjutkan perjalanan dan tak lupa menjadikan kejadian yang baru saja ditemui sebagai “pengingat”.

Saking geramnya ketika mendapati selalu saja ada tangan-tangan berkamera di setiap kerumunan kecelakaan di jalan, Kadang ingin juga perbuatan merekam atau memotret korban kecelakaan itu bisa dipidana. Namun, bila hal itu diterapkan, dilema juga. Dilema karena pasti bakal ada keluarga yang sedih ketika mendapati anak, ayah, atau ibunya ditahan polisi lantaran jadi fotografer dan videografer dadakan. Padahal orang-orang tersebut ketika di rumah ya orang biasa, bukan penjahat. Apakah perbuatan seperti itu layak dipidana? Saya enggak bisa komentar lebih jauh, soalnya memang ngga mafhum tentang hukum.

Entah belum ada atau memang saya saja yang belum menemukan, gerakan atau social movement yang mengkampanyekan untuk tidak sembarangan memotret dan merekam korban kecelakaan demi menjagai perasaan keluarga korban sepertinya memang sangat diperlukan. Bila memang aksi rekam video korban kecelakaan itu sudah membudaya, menurut saya obatnya adalah dengan kampanye yang sangat gencar pada masyarakat untuk tidak melakukannya. Kita bisa belajar dari campaign “Hati-hati di jalan. Keluarga Anda menanti di rumah” yang sering ditemui di jalan-jalan. Kata-kata itu selalu bisa membuat saya semakin berhati-hati lagi setiap berkendara di jalan.

Karya Foto HI Saya
Karya Foto HI Saya (dok. pribadi)

Saya di atas menyebut para fotografer dan videografer dadakan itu tak punya hati, sebenarnya bisa saja tanpa disadari ternyata saya tak lebih baik dari mereka. Saya yang sebelumnya aktif sebagai pehobi fotografi, kadang khawatir bila salah satu jepreten saya tanpa sengaja menyakiti hati orang, khususnya di karya-karya human interest (HI) dan street photography. Bisa saja hasil karya saya tersebut tanpa sengaja diinterpretasikan sebagai eksploitasi kemiskinan. Bisa jadi juga ada keluarga dari orang-orang yang saya potret di pasar atau jalanan tak berkenan. Iya memang apa pun itu, harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian agar tidak menyakiti sesama.

Semoga mereka para fotografer dan videografer dadakan spesialis kecelakaan itu bisa merenung juga. Bukannya mau mendoakan hal yang buruk, cuma bayangkan saja bagaimana bila salah satu anggota keluarga kalian mengalami kecelakaan di jalan, lalu orang berbondong-bondong datang malah untuk merekam dan memfoto. Foto dan video itu kemudian tersebar hingga ke kalian yang masih dalam suasana duka? Meminjam sepenggal lirik lagu Kartonyono Medot Janji-nya Denny Caknan, jeru alias dalam banget kan sakitnya. Menyakiti hati orang, meski itu tanpa sengaja, harusnya sih mengganjal banget rasanya. Pasti ngga mau kan kalau dibilang manusia tak punya hati, hehe.

Berita Terkait.