Bintitan, Diplopia, Myasthenia Gravis, dan Lari yang Kembali Digiatkan

By-|

Instagram

Olahraga dan Orang Sakit
Olahraga dan Orang Sakit (dok. pribadi)

Tiga bulan silam, mata kanan saya terkena bintitan, sebuah penyakit ringan yang kata orang memalukan atau bahkan dianggap seperti aib. Bagaimana enggak malu terkena bintitan kalau penyakit ini, dulu diidentikan dengan “hukuman alam” untuk para pria yang suka mengintip gadis-gadis mandi, pfft!!!. Kalau seperti itu, bagaimana kalau yang bintitan itu cewek? apa itu cewek ngintip pria-pria mandi! Dasar peoples jaman past.

Selang dua minggu kemudian, saya sembuh dari bintitan dan berpikir masalah selesai. Dugaan saya ternyata salah, sekira 10 hari pasca bintitan, pandangan saya mendadak agak kabur. Awalnya saya tidak bisa mendeteksi apa yang salah dari pandangan saya, namun belakangan saya menyadari saya terkena diplopia (double vision) di mata kanan yang pernah kena bintitan beberapa hari sebelumnya. Buat aktivitas harian sih normal-normal saja, cuma pas baca buku, ponsel, atau layar monitor, huruf-hurufnya jadi berganda atas-bawah.

Lima hari setelah pandangan kabur tersebut, saya memeriksakan mata ke dokter spesialis mata. Diagnosa awal, dokter menduga mata saya kena astigmatisme (silindris). Namun dia tidak menyarankan saya pakai kacamata lantaran baru lima hari mengalami gejala tersebut dan juga dugaan bintitan sebelumnya punya andil pada double vision yang saya alami. Dokter hanya memberikan obat oral (lupa namanya) dan tetes mata polosan putih yang saya duga adalah Cendo Xitrol.

Sepulang dari dokter mata, saya mencari informasi lebih lengkap tentang apa itu diplopia. Saya terkejut ketika mendapati banyak artikel menghubungkan diplopia dengan sebuah penyakit yang namanya sangat cantik tapi dampaknya sungguh tidak cantik, Myasthenia Gravis (MG). Sangat panjang apa itu Myasthenia Gravis bila saya tulis di sini. Salah satu efek yang bikin saya parno dari MG adalah untuk sekadar berjalan 10 meter saja sudah kelelahan.

Dada dan persendian saya lemas usai membaca artikel-artikel tersebut, bukan lemas karena saya 100% menderita MG ya, tapi lemas karena merasa ketakutan sendiri. Banyak pikiran-pikiran negatif berputar di kepala seperti, “Bagaimana bila saya terkena MG dan tidak bisa pecicilan lagi?” Meskipun beberapa tahun belakangan terbilang kurang gerak, hahaha, pada dasanya saya adalah orang yang “kakean polah” (Jawa: banyak gerak) dalam arti dan aksi yang sebenarnya.

Baca juga:

Sejak kecil saya biasa berlari kemana-mana, ke rumah teman berlari, pulang/berangkat sekolah berlari, ke TPA berlari, ke warung disuruh emak beli minyak tanah berlari, bahkan waktu SMP saya salah satu sprinter tercepat di sekolah. Mendapati fakta penderita MG akan kelelahan walau hanya bejalan 10 meter, tentu saja ini horor sekali. Tak menunggu lama, saya lalu membeli beberapa baju dan celana olahraga. Untuk sepatu, saya masih punya beberapa sepatu olahraga dan futsal yang biasa saya pakai bersama teman-teman kantor dulu.

Keesokan harinya, saya akhirnya berolahraga lari lagi setelah absen lebih dari tiga tahun, wkwkwkw. Di sini ujian dimulai, sanggupkah saya melewati 1000 meter pertama? mengingat saya sudah menganggap diri saya suspect MG. Oiya, rute pertama yang saya lalui cuma pendek, 4,2km. Pagi itu semua berjalan lancar, saya bisa menyelesaikan 4,2km itu tanpa rasa lelah yang berlebihan. Meski tidak langsung bisa diartikan saya bukan suspect MG lagi, rasanya lega sekali bila melihat beberapa jam sebelumnya saya ketakutan setengah mati dengan MG.

Aktivitas lari itu pun berlanjut hingga sekarang. Hingga postingan ini saya tulis, Kamis, 9 November 2017, tidak terasa sudah hampir dua bulan saya berlari setiap hari. Tercatat hanya empat kali saya tidak lari, itu juga bukan karena sakit atau malas, namun karena harus menginap di kos adik saya lantaran ada keperluan. Diplopia yang saya alami juga sudah sembuh pasca kembali berolahraga, saya sudah bisa membaca dan menulis dengan sangat nyaman lagi.

Postingan ini sebenarnya memalukan, kembali berolahraga kok hanya karena takut sakit. Sama memalukannya ketika mendadak rajin ibadah hanya karena takut siksa neraka. Menurut saya, idealnya itu berolahraga sebagai manifestasi rasa syukur atas nikmat sehat dan nafas hidup yang masih diberikan Tuhan sampai sekarang. Meski sampai saat ini rasa takut pada penyakit itu tetap ada, saya akan belajar mencintai olahraga sebagai wujud syukur saya, insya Allah.

Kalaupun diplopia saya ke depan kambuh atau bahkan kemungkinan terburuk, saya benar-benar terkena MG, insya Allah tidak ada hal yang perlu saya sesali lagi. Pasalnya, saya sudah mencoba dan berusaha untuk hidup sehat dan berolahraga lagi. Meminjam sepanggal lirik lagu Fix You-nya Coldplay, “if you never try you’ll never know” atau lagu Tak Pernah Ternilai-nya Last Child “setidaknya diriku pernah berjuang”, itu!

Oiya, saya tidak banyak dokumentasi foto atau video ketika berlari lagi. Sama seperti beberapa tahun silam, saya tidak pernah membawa gadget ketika berolahraga. Selain itu, sebelumnya saya juga tidak pernah berpikir untuk menuliskan pengalaman ini. Boro-boro mau foto saat lari, wong di kepala yang ada cuma pikiran negatif, entar ngga bisa ini, itu dll. Akhir kata, semoga saya, anda, dan orang-orang terdekat kita selalu sehat ya.

Berita Terkait.