Tiga hari lalu saya membaca berita di sebuah media online tentang pelawak kiwil yang akan bercerai dengan istri keduanya. Selang sehari kemudian, saya terhenyak ketika membaca berita tentang Dik Doank yang memutuskan untuk menikah lagi. Membaca berita dua pelakon dunia hiburan tanah air tersebut menggelitik saya untuk ikut berbicara mengenai poligami. Pada tulisan saya kali ini, saya ingin berbagi pandangan saya terhadap poligami.
Berasal dari kata Yunani kuno polys=banyak dan gamos=menikah, frasa poligami terdengar begitu imut. Apalagi memliki pelafalan yang hampir mirip dengan origami, seni tradisional melipat kertas yang sangat populer di negeri sakura. Apa ngga unyu tuh, hehe. Tapi apakah benar poligami adalah sesuatu yang unyu? Bagi wanita, poligami (dipoligami) adalah sebuah mimpi terburuk di hidupnya, bahkan sebagaian orang menganggap poligami tak ubahnya meligitimasi tirani, dominasi, dan perbudakan kaum laki-laki terhadap wanita.
Apakah benar bahwa poligamu itu sesuatu yang mengerikan? bisa iya bisa juga tidak, tergantung siapa pribadi yang menjalankan poligami itu. Poligami sepanjang yang saya tahu bukanlah suatu perkara yang mudah, bahkan mungkin lebih sulit dari rumus matematika E8 @^%$#^&%$. Dalam pandangan saya, selain Sang Nabi, tidak seorang pun di dunia ini yang bisa berpoligami dengan “benar (adil)”. “Benar” disini memang masih debatable, perdebatan yang sebenarnya berakar dari makna “adil” yang sangat absurd dan subyektif.
Sepanjang perjalan umat manusia sejak Sang Nabi tiada hingga kini telah terjadi pedebatan panjang tentang poligami. Ada yang pro, ada juga yang kontra. Secara mudah pun bisa ditebak bahwa kaum wanita khususnya para feminis ada di baris terdepan penentang poligami. Namun hal tersebut tidak berlaku sebaliknya. Walau poligami memang kenyataanya banyak menguntungkan kamu laki-laki, tak sedikit penentang poligami dari kaum lelaki, termasuk saya tentunya.
“Dan jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil terhadap anak-anak atau perempuan yatim (jika kamu mengawininya), maka kawinlah dengan perempuan lain yang menyenangkan hatimu; dua, tiga, atau empat. Jika kamu khawatir tidak dapat berbuat adil (terhadap istri yang terbilang), maka kawinilah seorang saja, atau ambillah budak perempuan kamu. Demikian ini agar kamu lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya” (An-Nisa` 3).
Sejujurnya ilmu saya masih dangkal jika harus turut berdebat dasar pemikiran para pendukung poligami dan penentang poligami yaitu QS. An Nissa (4):3. Maka itu, sebenarnya saya sedikit ragu ketika harus menampilan potongan ayat di atas. Takut bila hanya memancing kita dalam perdebatan panjang yang tidak berkesudahan. Saya lebih nyaman menjadikan apa yang saya alami dari rumah sebagai dasar pemikiran atau pandangan saya tentang poligami.
Baca juga:
Dari siapa kita mendapatkan pelajaran untuk pertama kalinya? Tentu dari orangtua. Dengan kata lain, dari rumahlah kita pertama kali mendapatkan ilmu. Saya besar dengan kasih sayang orang tua yang cukup, seperti seri tulisan-tulisan saya sebelumnya yang menggabarkan betapa dekat saya denga ibu saya. Dari kedekatan saya dengan ibu itulah saya bisa mengerti bagaimana jalan pikiran seorang wanita khususnya seorang Ibu. Dari ibu saya dapati fakta bahwa tak ada wanita di dunia ini yang ingin dipoligami.
Berangkat dari fakta yang saya temukan dari rumah menjadi alasan saya menolak poligami, selain faktor itu ada juga faktor lainya, misal saya lebih banyak mendapati contoh-contoh poligami yang lebih banyak mudaratnya daripada maslahatnya. Banyak contoh-contoh kegagalan orang dalam berpoligami yang saya temui. Bahkan Aa Gym, salah satu da’i yang saya kagumi, terbilang gagal dalam berpoligami. Suatu perkara yang dibangun dengan fondasi pribadi-pribadi yang tersakiti dalam pandangan saya tak akan barokah dan tidak akan baik untuk ke depan.
Kenapa bisa seperti ini? Bukankah di Al-Quran sangat jelas ada ayat yang mengatur tentang poligami? Sang Nabi pun juga berpoligami kan? Kenapa Tuhan menurunkan ayat tentang poligami jika banyak mudharatnya ketimbang maslahatnya? Iya, memang benar di Alquran berbicara tentang poligami, begitu pula Rasulullah pun berpoligami. Dari situlah saya semakin yakin akan kualitas junjungan saya Nabi Besar Muhammad SAW. Walau dengan ‘kepayahan’ Sang nabi mampu berpoligami dengan semestinya. bagaimana dengan kita yang bukan manusia pilihan? mampukah???
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan pembagian (di antara istri-istrinya) dan beliau berlaku adil, dan beliau berdo’a : ‘Ya Allah inilah pembagianku menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencercaku di dalam hal yang mampu Engkau lakukan dan aku tidak mampu melakukannya”.[Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Timidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan dinilai Shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim]
[Fatawal Mar’ah, hal.62 oleh Syaikh Ibnu Baz]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
Mau mendukung atau mau menentang poligami boleh-boleh saja. Saya pun tidak memaksa pendapat saya ini benar 100%, karena kebenaran sebenarnya hanya dari mana kita memandang. Ketika di atas saya sebutkan saya lebih menggunakan sudut pandang dari rumah saya yaitu orang tua saya (ibu saya), maka saya pun memililih untuk menolak poligami. Namun mungkin ada di antara saudara-saudara muslim yang memang memiliki perspektif lain soal poligami. Semoga tidak menjadi benih-benih kebencian di antara kita sesama saudara muslim.
Wallahu A’lam Bishawab
Yos Beda - 11/8/2012